I See You When I See You On Top!
"Jel, jadi lu udah nggak kantoran lagi?"
"Then how you pay the bill?"
"Emang lu pengangguran yak sekarang?"
"Nongkrong laaaah cuss kita meet up!"
Hahaa. Pertanyaan-pertanyaan diatas itu lagi sering banget mampir di inbox facebook messenger saya (berhubung smartphone lagi rusak, sosmed yang berintegrasi sama android saya off sementara). Awalnya sih say hi terus 'hey I miss youuu a lot! ayoklah kita meet up!' trus lama-lama nanya keadaan dan berakhir di 'jadi lo pengangguran nih sekarang?'
Kata pengangguran buat saya itu sedikit nyentil sih. Kata nganggur sendiri kalau diserapkan ke bahasa Inggris adalah
jobless, atau translate lagi ke bahasa Indonesia jadi kurang kerjaan. Kurang kerjaan adalah iseng, dan iseng adalah jahil, tengil, nakal. Jadi nganggur adalah jahil? Hahahaaa terminologi menurut saya jangan dipercaya yah! Just kidding ;)
Jobless nya buat saya nih, lagi nggak terikat dengan sebuah instansi atau korporat perusahaan. Iya, saya lagi non-aktif bekerja sebagai pegawai bawahan seseorang atau grup company yang bisa menggaji saya setiap bulan atas buah pikir & kerja keras yang saya buat. Saya out dari BPJS, asuransi kesehatan tetap ada, Pajak Penghasilan stop, karena memang saya sedang off penghasilan.
Jadi saya nggak punya uang gituh? I STILL HAVING SOME MONEY but
puh-lease this is a sensitive area to be a topic, y'know. I only discuss this with my family.
"Jadi apa yang lagi dikerjain sekarang? Secara lu lagi gapunya kerjaan?"
"Trus gimana kalau mau jalan-jalan?"
"Emang kenapa lu gamau kerja? Apa udah nggak mau kerja lagi? Tinggal tunggu kewong (kawin) aja?"
Hey-hey! Sabar. Yang diatas itu adalah 2nd batch dari kumpulan pertanyaan yang rada mirip sama 1st batch paling atas. Sekalian aja ya saya jawab sama alesannya ya. (sebenernya memang tulisan ini dibuat rada nggak sabaran sama pertanyaan-pertanyaan usil. Kalian usil, tapi kalian perhatian! Love you so mucchos, my friends!).
Alasannya mungkin terdengar klise & gombal. Hampir 10 tahun kerja di Ibukota DKI Jakarta, bikin saya rindu 1 hal; saya rindu rumah. I know--I KNOOOWW it sounds so cheesy. Dari jaman saya naik angkutan umum hingga bawa kendaraan motor pribadi saya sadar kalau saya tua di jalan. Pernah nih, pernah, hampir 30 hari di bulan Ramadhan tahun 2008 saya selalu melewatkan buka puasa bersama dengan keluarga. Selaluuuu buka dengan teman kantor & nongkrong (yep, I skipped taraweh) sampai jam 11 malam. Gilak kalau dipikir-pikir emang. Dan begitu pun seterusnya, misalnya hujan, terus jalanan macet, mau nggak mau saya nongkrong dulu di sebuah kafe dengan teman-teman hingga mall-nya tutup dengan alasan saya males nerobos kemacetan ibukota kala petang.
Kurun waktu 10 tahun belakangan saya bekerja adalah era dimana gadget & sosial media berkembang pesat. Diawali dari gadget handphone, dari yang flip lalu keyboard qwerty dan terakhir total layar sentuh. Sosial media yang dimulai dari Friendster kemudian twitter, foursquare & facebook dan kini ada Path, Instagram, Vine, Pinterest, LinkedIn dan sebagainya..... turut andil menumbuh-kembangkan jati diri saya dengan lingkungan sekitar. Ada yang terbaru; post ke Facebook, terus bikin grup buat seru-seruan ngobrol. Hati lagi galau pengen curhat; tweet di Twitter. Kalo gak ada tulisan "UberSocial" atau Twitter for iPhone/Android" kayaknya nggak kece bikin statusnya. Ngegosip berita viral terkini, post ke Path; jangan lupa kasih love lalu cek berapa orang yang view your post. Oh-my-God I feel so tired of that.
I am so sorry! tapi... yah semua ada masanya. Masanya saya, menurut saya, sudah hilang intensitas untuk merasa terikat dengan beberapa sosial media tersebut. Walau tidak munafik memang saya masih menggunakan yang populer banget; Facebook. Tapi setidaknya saya sudah mengurangi--dan Instagram, karena saya punya akun bisnis disitu.
There's a devil inside me, I want everyone sees me, the way I post is unique and I want everyone likes me. Ketika sadar saya ngecek sudah berapa orang yang like atau love atau view post saya, saya happy. Tapi kalau yang love sedikit tapi yang nge-view banyak, saya stress. There's something wrong about my post, or they bored about me. Menurut saya ini adalah naluri seorang manusia untuk bersosial. "Enggak ah, gue nggak gitu. Biasa aja kalo orang mau love atau viewnya cuman sedikit ya bodo amat." Good for you kalau kamu bisa survive in a jungle full of passive-aggressive social media people.
Oke balik lagi ke pertanyaan. Oh ya saya sudah jawab ya, saya rindu rumah. Betul.
Ketika saya balik fokus di rumah saya ternyata melewatkan betapa kuatnya Ibu saya berjuang sendirian ketika tidak ada orang-orang di rumah (Bapak kerja, kakak sudah beda rumah, saya kerja dan adik kuliah). Dan saya, sudah melewatkan proses Ibu saya dari yang strong secara fisik hingga kini mulai menua dan sering pegal-pegal. I rare to post how much I love my mom, because of 1: saya malu karena saya cinta Ibu saya tapi saya sering ninggalin beliau demi saya sukses diluar. 2: karena Ibu saya nggak punya sosmed, jadi nggak usah pamer sayang-sayangan lah. Teman-teman juga sedikit yang tahu Ibu saya secara personal jadi nggak usah pamer prinsip saya.
Ketika saya fokus di rumah, Ibu mulai terbuka begitu pun saya. Sering mengobrol apaaaa saja, dari urusan dapur hingga gaya hidup orang bule yang suka kumpul kebo (gara-gara saya lagi ngikutin serial Friends & film-film Hollywood di TV kabel). Saya jadi penghubung Ibu kalau mau bepergian. Oh ya, saya juga pernah menjadi suster untuk nenek yang pernah tinggal di rumah. Nenek saya sudah jompo, jadi sudah susah jalan untuk hal-hal seperti mandi, pipis atau bab, gunting kuku, keramasin, beneran seperti suster untuk lansia saya kerjakan. Iya itu saya hampir 10 bulan lamanya. Just me. No one else.
Ketika di rumah saya jadi tahu pekerjaan perempuan. Walau aksi feminisme sudah merajalela dan statement "Hak-hak Perempuan harus setara dengan Pria" namun tetap saja perempuan harus bisa menguasai dapur, itu nasihat Ibu saya. Walau saya belum pintar memasak, setidaknya saya harus tahu pekerjaan rumah. "Syukur Alhamdulillah kalau Insya Allah kamu dapet suami
horangkayah (orang kaya) jadi nggak perlu pekerjaan kasar. Tapi setidaknya harus tahu, supaya nanti nggak di'bego'in sama pembantu, itu pengalaman mama." Itu nasihat Ibu saya.
Terus gimana kalau saya mau jalan-jalan? Ya bisa laaaahh. Saya masih bisa ikut CFD-an (car free day) hari Minggu di kawasan Senayan. Saya masih jalan-jalan ke wilayah BSD, saya bisa kemana-mana koook. Tapi ya balik lagi, manfaat apa mudharat? Karena saya berpikir keluar rumah kalau pekerjaan rumah sudah selesai. Sudah selesai belum pekerjaan saya?
Terus nggak mau kerja lagi nih? Apa tinggal nikah aja?
Hey, siapa sih yang nggak mau kerja? Saya juga butuh kegiatan woy. Ada beberapa hal yang menurut saya nggak etis untuk ditulis disini, seperti keuangan, pekerjaan secara mendetail, dan beberapa project yang akan saya kerjakan. Tinggal nikah aja? Ya boleh saja kalau sudah ada calonnya (hayooo siapa yang mau daftar? hahhaaa). Ada seorang teman yang berceletuk kalau ia menanggapi keputusan saya yang mau fokus di rumah. "Iya juga sih ya, Jel. Jadi nanti kalau lo udah nikah udah nggak kaget, karena udah bisa ngapa-ngapain. Jangan kayak gue yang nggak bisa ngapa-ngapain setelah nikah." Menurut bahasa Ibu saya 'kaget berrumah-tangga'.
Seperti pepatah kekinian yang sering saya dengar;
"I see you when I see you on top!" So true. Saya akan keluar rumah lagi ketika saya Insya Allah sudah berjaya, tanpa bantuan teman-teman saya kala saya merangkak derita menuju puncak kesuksesan. Karena teman-teman saya akan melihat hasil terbaiknya saja, bukan hal-hal nggak enak (karena bagian nggak enak itu nggak enak dideketin buat seru-seruan). Bukan begitu bukan intisari quote diatas? :)
Jadi apakah saya pengangguran? Tanpa pekerjaan dan tanpa pergulatan batin untuk bekerja? You decide myself what it looks like.